Home » , » BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DI SISTEM PENDIDIKAN KITA

BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DI SISTEM PENDIDIKAN KITA

Written By cillasmartcorp on Rabu, 25 Juli 2012 | Rabu, Juli 25, 2012

BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

...Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai ? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan ? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana ?” “
 
Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai

Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: 

"karakter yang membangun, bukan merusak"
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman : gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Mari kita bersama bisa merubah budaya menghukum dan menghakimi di sistem pendidikan kita dan memulai mendorong kemajuan dunia pendidikan kita bersama.

Dipersembahkan Oleh : cillasmartcorp ~ Guyonane Wong Ndablek

Kentir01 Sobat sedang membaca artikel tentang BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DI SISTEM PENDIDIKAN KITA dan sobat bisa menemukan artikel BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DI SISTEM PENDIDIKAN KITA ini dengan url http://guyonsmart.blogspot.com/2012/07/budaya-menghukum-dan-menghakimi-di.html, Sobat boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel BUDAYA MENGHUKUM DAN MENGHAKIMI DI SISTEM PENDIDIKAN KITA ini sangat bermanfaat bagi sobat semua, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya :
Share this article :

5 komentar:

  1. معرفی بروکر آلپاری

    شاید اولین پرسش ساده برای افراد مبتدی این است که بروکر آلپاری چیست؟ که در حقیقت این کارگزاری از انواع بروکرهای محبوب و پرطرفدار محسوب می‌شود. آلپاری از بروکرهای معتبر و برتر جهان در زمینه انجام معاملات فارکس بوده و به عنوان یک واسطه بین بازار اصلی فارکس و معامله‌گران حرفه‌ای عمل می‌کند.

    از نظر تاریخی نیز این صرافی از سال ۱۹۹۸ به مرکزیت کشور روسیه و شهر کازان تاسیس شده و دارای میلیون‌ها کاربر از سراسر جهان در مدت فعالیت خود است. همچنین بروکر آلپاری در بازه سال‌های ۲۰۱۳ تا ۲۰۱۴ با داشتن لایسنس و قرارگیری در بین سه بروکر برتر فارکس، جزء محبوب‌ترین کارگزاری‌های فارکس محسوب می‌شد. با این وجود تا کنون این صرافی جزء مشهورترین و باسابقه‌ترین بروکرها در ایران و جهان شناخته شده است.

    BalasHapus
  2. در حال حاضر، بازی‌های NFT با سرعت زیادی در حال گسترش و محبوب شدن هستند و افراد زیادی مایل‌اند شانس خود را در این بازی‌ها امتحان کنند. اما اکثر بازی‌های NFT به سرمایه‌گذاری اولیه نیاز دارند و هیچ تضمینی برای بازگشت سرمایه وجود ندارد. از این رو، بازی‌های NFT بدون نیاز به سرمایه‌گذاری برای مبتدیان جذابیت ویژه‌ای دارند

    BalasHapus

Harap komentar tidak mengandung pornografi, atau kata-kata yang bersifat melecehkan, menghina, dan menyudutkan partai tertentu... eh salah...hehehe..Berikan komentar terbaikmu supaya anda bisa langsung masuk surga... oke coi... wkwkwkwwk

 
Support : BING | Google
Copyright © 2013. GUYONANE WONG NDABLEK - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger